Tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsyari


Tafsir Al-Kasyaf karya Zamakhsyari

  1. Biografi al-Zamakhsyari (w. 538 H)

Sebagaimana tertulis dalam tafsir al-Kasysyaf, nama lengkap al-Zamakhsyari ialah Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar al-Zamakhsyari. Tetapi ada juga yang menulis Muhammad ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Beliau lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizmi pada hari rabu 27 Rajab 467 H. Atau 18 Maret 1075 M. Beliau berasal dari keluarga miskin, tetapi alim dan ta’at beragama.[1]

Ia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra kepada syaikh Mansur Abi Mudar. Kemudian pergi ke Mekah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan di sana pula ia menulis tafsirannya, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa Uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil. [2]

Al-Zamakhsyari dikenal sebagai yang berambisi memperoleh kedudukan di pemerintahan. Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlaq lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, Abu Mudar. Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa al-Zamakhsyari selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Kemungkinan pertama: kerena ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra Arab saja, tetapi juga seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebar-luaskan fahamnya, dan ini membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua: Mungkin juga karena kurang didukung kondisi jasmaninya, beliau memiliki cacat fisik, yaitu kehilangan satu kakinya.

Al-Zamakhsyari membujang seumur hidup. Sebagian besar waktunya diabadikan untuk ilmu dan menyebarluaskan faham yang dianutnya, seperti sering dilakukan kalangan Mu’tazilah pendahuluannya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila penulis biografinya mencatat kurang lebih 50 buah karya tulisannya yang mencaku berbagai bidang. Sebagian karya al-Zamakhsyari ada yang masih dalam bentuk manuskrip. Beliau wafat di jurnaniyah pada malam ‘Arafah tahun 538 H.[3]

Al Zamakhsyari adalah orang-orang alim teristimewa dalam masalah nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Ra’yinya dalam bahasa Arab diakui oleh ahli-ahli bahasa. Zamakhsyari menganut kepercayaan muktazilah, bermadzhab hanafi. Dialah yang mengarang kitab al-Kasysyaf menyokong akidah dan madzhabnya. Di dalam tafsirnya itu jelas terlihat bahwa Zamkhsyari itu berhasil melunturkan kepintarannya, kecerdikannya dan kemahirannya itu sendiri karena padanya ada tanda-tanda yang dapat dilihat dari jauh bahwa dia telah menghimpunkan ayat-ayat untuk membantu muktazilah dan menolak lawan-lawannya.[4]

Tapi dari pihak bahasa dia telah menyingkapkan tabir keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang menarik bila ditinjau dari sudut ilmu balaghah, ilmu al-Bayan, sastra, nahwu dan tasrif. Kitabnya ini menjadi tempat pengambilan oleh orang dalam bahasa. Di dalam pendahuluan kitabnya itu dia menyebutkan bahwa ada orang yang menadi penghalang bagi tafsirnya karena orang ini tidak menyelami dengan mendalam. Dia adalah orang yang unggul dalam dua macam ilmu khusus al-Qur’an. Yaitu ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Dia tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan kedua ilmu ini.[5]

  1. Karya-karya al-Zamakhsyari[6]

Karya-karya al-Zamakhsyari meliputi berbagai bidang, antara lain:

  1. Bidang tafsir: al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil terdiri dari 4 jilid.
  2. Bidang Hadis: al-Fa’iq fi Garib al-Hadis.
  3. Bidang Fiqih: al-Ra’id fi al-Faraid.
  4. Bidang Ilmu Bumi: al-Jibal wa al-Amkinah.
  5. Bidang Akhlaq: Mutasyabih Asma al-Ruwat, al-Kalim al-Nabawig fi al-Mawa’iz al-Nasa’ib al-Kibar al-Nasa’ib al-Sigar, Maqamat fi al-Mawa’iz, Kitab fi Manaqib al-Imam Abi Hanifah.
  6. Bidang sastra: Diwan Rasa’il, Diwan al-Tamsil, Tasliyat al-Darir.
  7. Bidang ilmu Nahwu: al-Namuzaj fi al-Nahw, Syarh al-Kitab Sibawaih, Syarh al-Mufassal fi al-Nahw.
  8. Bidang Bahasa: Asas al-Balaghah, Jawahir al-Lughah, al-Ajnas, Muqadimah al-Adab fi al-Lughah.
  1. Tafsir al-Kasysyaf
  2. Latar Belakang Penulisan[7]

Al-Zamakhsyari menulis kitab tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan dirial-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok yang dimaksud yakni kelompok muktazilah.

            Berdasar desakan pengikut-pengikut Muktazilah di Makkah dan atas dorongan al-Hasan Ali ibn Hamzah ibn Wahhas, serta kesadaran dirinya sendiri, akhirnya al-Zamakhsyari berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Penulisan tafsir tersebut dimulai ketika ia berada di Makkah pada tahun 526 H dan selesai pada hari Senin 23 Rabiul Akhir 528 H.

Penafsiran al-Zamakhsyari mendapat sambutan hangat di berbagai negeri. Dalam perjalanan kedua ke mekkah, banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk memperoleh karyanya itu. Bahakan pemimpin pemerintahan mekkah, Ibn Wahhas, bermaksud mengunjunginya ke khawarizm untuk mendapatkan karya tersebut, semua itu menggugah semangat al-Zamakhsyari untuk memulai menulis tafsirnya, meskipun dalam bentuk yang lebih ringkas.

            Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat tapi jelas, sehingga para Ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para Ulama’ Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak I’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yag ada sekarang ini.[8]

Pada tahun 1968 M, tafsir al-Kasysyafdicetak ulang pada percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir dalam empat jilid. Jilid pertama diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Maidah. Jilid kedua dari surat al-An’am sampai surat al-Anbiya’. Jilid ketiga dari surat al-Hajj sampai surat al-Hujurat. Jilid keempat dari surat Qaf sampai al-Nas.

  1. Sumber Penulisan[9]

Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakhsyari dalam menulis tafsir al-Kasysyaf meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:

  1. Sumber Tafsir

1)      Tafsir Mujahid (w. 104 H)

2)      Tafsir Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid al-Mu’tazili (w. 144 H)

3)      Tafsir Abu Bakr al-Mu’tazili (w. 235 H)

4)      Tafsir al-Zajjaz (w. 311 H)

5)      Tafsir al-Rumani (w. 382 H)

6)      Tafsir Ali ibn Abi Thalib dan Ja’far al-Sadiq

7)      Tafsir kelompok Jabariyah dan Khawarij

  1. Sumber Hadis

Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyari mengambil dari berbagai macam hadis, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya Sahih Muslim. Ia biasanya menggunakan istilah fi al-Hadis.

  1. Sumber Qira’at

Adapun sumber Qira’at yang diambil, antara lain:

1)      Mushaf Abdullah ibn Mas’ud

2)      Mushaf Haris ibn Suwaid

3)      Mushaf Ubay ibn Ka’ab

4)      Mushaf ilama Hijaz dan Syam

  1. Sumber Bahasa dan Tata Bahasa

Bahasa atau tata bahasa adalah sumber yang paling banyak dipergunakan oleh al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk lebih banyak mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an. Adapun sumber-sumber yang diambil, antara lain:

1)      Kitab al-Nahwi, karya Sibawaihi (w. 146 H)

2)      Islah al-Mantiq karya Ibn al-Sikait (w. 244 H)

3)      Al-Kamil karya al-Mubarrad (w. 285 H)

4)      Al-Mutammim karya Abdullah Ibn Dusturiyah (w. 347 H)

5)      Al-Hujjah karya Abi Ali al-Farisi (w. 377 H)

6)      Al-Halabiyyat karya Abi Ali al-Farisi (w. 377 H)

7)      Al-Tamam karya Ibn al-Jinni (w. 392 H)

8)      Al-Muhtasib karya Ibn al-Jinni (w. 392 H)

9)      Al-Tibyan karya Abi al-Fath al-Hamdani

  1. Sumber Sastra

Di antara kitab-kitab sastra yang menjadi rujukan adalah:

1)      Al-Hayaran karya al-Jahiz

2)      Hamasah karya Abi Tamam

3)      Istaghfir dan Istaghfiri karya Abu al-‘Abd al-Mu’arri

  1. Metode dan Corak Penafsiran[10]

Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam Mushaf Usmani. Kemudian ditulis dengan lebih dahulu menuluskan ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan kemudian memulai dengan penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil dari riwayat hadis maupun al-Qur’an. Meskipun ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya.

Metode yang digunakan oleh al-Zamakhsyari dalam penafsirannya adalah metode tahlili yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah yaitu hubungan ayat dengan ayat lainnya tau surat dengan surat lainnya. Sebagian besar penafsirannya berorientasi pada rasio (ra’yu) maka tafsir al-Kasysyaf dapat dikategorikan pada tafsir bi al-ra’yu meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (nas al-Qur’an dan Hadis).

  1. Contoh Penafsiran dalam Tafsir al-Kasysyaf[11]

Contoh bentuk penafsiran bi al-ra’yi dengan metode tahlili dalam tafsir al-Kasysyaf dapat dilihat pada penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 115

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.[12]

            وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُmenurut al-Zamakhsyari maksudnya adalah Timur dan Barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟maksudnya ke arah manapun manusia menghadap Allah hendaknya menghadap qiblat sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi:

فَوَلِّوَجْهَكَشَطْرَٱلْمَسْجِدِٱلْحَرَامِوَحَيْثُمَاكُنتُمْفَوَلُّوا۟وُجُوهَكُمْشَطْرَهُ

“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu”

            فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِmenurut al-Zamakhsyari maksudnya di tempat (Masjidil Haram) itu ada Allah yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk menghadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat tersebut adalah apabila seorang muslim akan melakukan shalat dengan menghadap Masjidil Haram dan Baitul Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadapke arah tersebut, maka Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap ke arah manapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.

            Latar belakang turunnya ayat ini menurut Ibnu Umar berkenaan dengan shalat musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke arah mana kendaraannya menghadap. Tetapi mennurut ’Ata ayat ini turun ketika tidak diketahui arah qiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah berbeda-beda. Setelah pagi hari ternyata mereka slah menghadap kiblat kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi (lalu turunlah ayat ini). Kemudian ada yang berpendapat bahwa kebolehan berdoa menghadap arah mana saja, bukan dalam shalat.

            Dari contoh penafsiran di atas tampak bahwa al-Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikirannya secara rasional lalu dikuatkan dengan ayat lain yang berkaitan dan setelah itu mengemukakan riwayat atau pendapat ulama. Jadi al-Zamakhsyari di samping menggunakan akalnya juga menggunakan riwayat naql sebagai penguat atas penafsirannya.

  1. Penilaian Terhadap Tafsir al-Kasysyaf

            Di kalangan para ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal karena kepiawaian al-Zamakhsyari dalam mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, terutama mengenai keindahan balaghahnya. Mereka bahkan mengatakan bahwa tafsir inilah yang pertama kali menyingkap kemukjizatan al-Qur’an secara sempurna. Di samping kelebihan tafsir al-Kasysyaf juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut beberapa penilaian terhadap tafsir al-Kasysyaf.

  1. Imam Busykual

Tafsir al-Zamakhsyari lebih ringkas dan lebih mendalam. Zamakhsyari sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca untuk memahaminya, dan sering menyerang madzhab lain. Hal ini karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab muktazilah.

  1. Haidar al-Harawi

Tafsir al-Kasysyaf  merupakan tafsir yang sangat tinggi nilainya. Tafsir-tafsir sesudahnya, menurut Haidar tiada satupun yang enendingi baik dalam keindahan maupun kedalamannya. Namun tafsir al-Kasysyaf juga memiliki kekurangan antara lain:

  1. Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikirkan secara mendalam dan menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk menutupi kelemahannya, serta penuh dengan pemikiran muktazilah.
  2. Kurang menghormati ulama lainnya, sehingga al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah: 54 menunjukkannya kepada al-Zamakhsyari karena al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama yang dicintai Allah SWT.
  3. Terlalu banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan kejenakaan, yang jauh dari tuntunan syariat.
  4. Sering menyebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dengan sebutan yang tidak sopan bahkan kadang-kadang mengkafirkan.
  5. Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa di antara tafsir yang paling baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Qur’an dengan pendekatan bahasa dan balaghah adalah tafsir al-Kasyysaf. Hanya saja penyusunnya bermadzhab muktazilah. Dengan balaghah beliau membela madzhabnya dalam menafsirkan al-Qur’an.

Menurut Ibnu Khaldun, kitab al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari ini disamping hadis hendaklah menjadi kitab pegangan bagi orang-orang yang akan menyusun tafsir dalam mendalami bahasa, i’rab dan balaghah. Untuk meningkatkan ilmu yang dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Orang yang menulis kitab al-Kasysyaf ini adalah seorang ahli bahasa yang terpandai di Irak. Selain dari itu yang menyusun kitab ini berbau Muktazilah dalam segi akidah. Inilah yang dijadikan hujah bagi madzhabnya yang telah rusak itu. Karena dia menerangkan ayat-ayat al-Qur’an itu dengan cara-cara balaghah. Dengan demikian maka dengan diam-diam dia telah menyimpang dari madzhabnya yang kini telah memasuki ahli sunah.[13]

  1. Mustafa al-Sawi al-Juwaini

Beliau berpendapat bahwa al-Zamakhsyari merupakan ulama muktazilah yang sangat fanatik dalam membela paham Muktazilah, sehingga penafsirannya sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Muktazilah.

  1. Ignaz Goldziher

Dalam bukunya Mazahib Tafsir al-Islami, Goldziher mengatakan bahwa tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaanya terhadap Muktazilah sangat berlebihan.

  1. Muhammad Husain al-Zahabi

Al-Zahabi berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-Qur’an.

Dari beberapa penjelasan terhadap tafsir al-Kasysyaf di atas kiranya dapat dipilah menjadi tiga kelompok yaitu:

  1. kelompok pertama berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang sangat baik karena berhasil menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur’an dengan pendekatan lughawi, terutama aspek balaghah. Tafsir ini layak dijadikan sebagai rujukan bagi para mufasir. Kelompok ini hanya melihat dari sisi keberhasilandalam menyingkap kemukjizatan al-Qur’an, tidak melihat adanya pemaksaan makna sebagian lafadz al-Qur’an pada kelompok muktazilah.
  2. Kelompok kedua berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf tidak layak dijadikan rujukan karena penyusunnya sangat fanatik dalam membela muktazilah sehingga ayat-ayat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muktazilah dibelokkan maknanya agar sesuai dengan dokrin muktazilah. Penyusunnya juga sering melontarkan serangan terhadap ulama lain yang tidak sepaham dengan kata-kata yang tidak sopan.
  3. Kelompok ketiga berpendapat bahwa dalam beberapa bagian tafsir al-Kasysyaf sangat baik untuk dijadikan rujukan, yaitu dalam pengungkapan kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi dalam bagian lainnya yaitu dalam penyimpangan makna al-Qur’an, harus ditinggalkan. Kelompok ketiga ini paling moderat dan bisa dipedomani dalam membaca tafsir al-Kasysyaf, sehingga dapat memetik manfaat.

Daftar Pustaka

Qathan, Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2.terj. Halimuddin (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995)

Yusuf, Muhammad, dkk. Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)

Software Al-Qur’an al-Hadi


[1]Yusuf Muhammad. Studi Kitab Tafsir Menyuarakan teks yang bisu. Teras, Yogyakarta, 2004, hal 43-44.

[2]Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Hal 530.

[3]Yusuf Muhammad. Studi Kitab Tafsir Menyuarakan teks yang bisu. Teras, Yogyakarta, 2004, hal 45-46

[4]Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2,terj. Halimuddin (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995)hlm. 209-210

[5]Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2,terj. Halimuddin (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995)hlm. 209-210

[6]Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)hlm. 47

[7]Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)hlm. 48-49

[8]Yusuf Muhammad. Studi Kitab Tafsir Menyuarakan teks yang bisu. Teras, Yogyakarta, 2004, hal 48-49

[9]Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)hlm. 49-51

[10]Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)hlm. 51

[11]Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir: Munyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004)hlm. 53

[12]Software Al-Qur’an al-Hadi

[13]Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2,terj. Halimuddin (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995)hlm. 209-210

Penelitian Sanad Hadis


Hadis Riwayat al-‘Aqili no 2059

Teks Hadis

حدثنا محمد بن حنيفة القصبي الواسطي قال : حدثنا الحسن بن جبلة قال : حدثنا مجاشع بن عمرو قال : حدثنا عبد الرحمن بن زيد بن أسلم ، عن أبيه ، عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ركعتان من المتزوج أفضل من سبعين ركعة من الأعزب » (رواه العقيلى(

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hanifah al-Qasibi al-Wasihti berkata: telah menceritakan al-Hasan bin Jabalah berkata: telah menceritakan kepada kami Majasyi bin Amru berkata: telah menceritakan kepada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Anas berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dua rekaat dari orang yang sudah menikah lebih utama daripada tujuh puluh rekaat dari orang yang membujang.”(HR. Al-‘Aqili)

Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Jalur sanadnya yaitu Nabi SAW → Anas → Ayah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam→ Abdurrahman bin Zaid bin Aslam → Majasyi’ bin Amru → Al Hasan bin Jabalah → Muhammad bin Hanifah al- Qasibi al Wasithi → al-‘Aqili. Berikut ini identitas orang-orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut.

  1. 1.      Anas (w. 92 H)

Beliau adalah Anas bin Malik. Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin Nadhir bin Dhomdhom bin Zaid bin Haram bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin ‘Ad bin Najar al-Anshari al-Najari. Nama kuniyahnya adalah Abu Hamzah al-Madani. Beliau merupakan budak Rasulullah SAW.[1] Beliau merupakan thabaqat yang pertama yakni sahabat Rasulullah SAW, tinggal di Basrah. Ibunya bernama Ummu Salim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. Beliau budak Rasulullah selama 10 tahun di Madinah.[2] Beliau wafat pada tahun 93 H di Basrah.[3]

Beliau meriwayatkan hadis dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdullah bin Rawahah, Fatimah az-Zahra, Tsabit bin Qais bin Syamas, Abdurrahman bi Auf, Ibnu Mas’ud, Malik Sha’sha’, Ibnu Dzar, Abi bin Ka’ab, Abi Thalhah, Mu’adz bin Jabal, Ibunya (Ummu Salim), bibinya (Haram), Ummu Fadl (istri Abbas). [4]

Dan diantara yang meriwayatkan hadis darinya yakni Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, Aus bin Abi Aus, , Anas bin Sirin, Ja’far bin Abdullah bin Hakim al-Anshari, Habib bin Abi Tsabit, Hajaj bin Hasan al-Qais, Hasan Basri, Ziyad al-Namiri,Zaid bin Aslam, Sa’id bin Jabir, Sa’id bin al-Musib, Sa’ad bin Sunan, Sunan bin Sa’ad, Sofwan bin Salim, dll.[5]

Adz-Dzahabi berkata beliau adalah sahabat nabi. Ibnu Hajar berkata beliau adalah sahabat. Ja’far bin Sulaiman berkata beliau tsabt. Husain bin Waqidi berkata beliau tsabt. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata beliau seorang sahabat yang terkenal[6]

  1. 2.      Ayah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (w. 136 H)

Nama lengkapnya adalah Zaid bin Aslam al-Qarasyi al-‘Adwi. Nama kuniyahnya adalah Abu Usamah.[7] Beliau budak dari Umar Abu Abdullah. Beliau merupakan thabaqat yang ketiga yakni golongan pertengahan tabi’in. Abu Ja’far berkata beliau wafat pada tahun 136 H pada bulan Dzulhijjah.[8] Beliau seorang ahli fiqh.[9]

Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya (Aslam), Ibnu Umar, Abi Hurairah, Aisyah, Jabir, Rabi’ah bin ‘Ibad al-Dili, Salamah bin al-Akwa, Basir bin Sa’id,[10] Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Aslam (saudaranya), Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Abi Qatadah, Atha’ bin Yasir, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, dll.[11]

Dan yang meriwayatkan darinya yakni ketiga anaknya (Usamah, Abdullah, Abdurrahman), Malik, Ibnu ‘Ajlan, Ibnu Jarij, Sulaiman bin Bilal, Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir, Ma’mar, Hasyim bin Sa’id.[12]

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Muhammad bin Sa’ad,  dan An-Nasa’i, mereka berkata beliau tsiqah. Ya’qub bin Syaibah berkata beliau tsiqah, ahli fiqh dan ilmu. Yahya bin Ma’in berkata beliau shaduq. Al-‘Ajali berkata beliau orang Kuffah tsiqah.[13]

  1. 3.      Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (w. 182 H)

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Zaid bin Alam al-Qarasyi al-‘Adwi. Beliau adalah pembantunya Umar bin Khattab dan saudara dari Abdullah bin Zaid bin Aslam dan Usamah bin Zaid bin Aslam.[14] Beliau menduduki thabaqah yang ke-8. Beliau wafat pada tahun 182 H. Beliau tinggal di Madinah.[15]

Guru-gurunya adalah Zaid bin Aslam (ayahnya), Abi Hazim Salamah bin Dinar, Sufyan bin Salim[16]. Murid-muridnya antara lain Ibnu Wahab, Marhum bin Abdul Aziz al-‘athar Ibnu Abi Maryam, Abdul Aziz al-Awisi, Yahya bin Shalih, Ibrahim bin Yazid al-Adzrami, Abu Mush’ab Ahmad bin Abi Bakar al-Zuhru, Ishaq bin Idris, dll.[17]

Abu Thalib, Al-Nasa’i, dan Abu Zur’ah berkata beliau dhaif, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata bahwa beliau dhaif dan meriwayatkan hadis munkar. Bukhari dan Abu Hatim berkata beliau dhaif sekali. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim berkata sanadnya munqathi’. Abu Hatim berkata beliau tidak kuat dalam hadis. Muawiyah bin Yahya berkata Usamah, Abdullah dan Abdurrahman bani Zaid bin Aslam, semuanya dhaif.[18]

  1. 4.      Majasyi’ bin Amru

Nama lengkap beliau adalah Majasyi’ bin Amru bin Hasan al-Asadi.[19] Nama kuniyah beliau adalah Abu Yusuf.[20]

Guru-guru beliau antara lain Hasyim bin Urwah, Ubaidillah bin Umar, Laits bin Sa’ad. Murid-muridnya antara lain Utsman bin Abdurrahman al-Harani,[21] Hasan bin Jabalah, Ya’qub bin Muhammad az- Zuhri, Ishaq bin Ibrahim, Abu Sahl bin Asad.[22]

Majasyi’ bin Amru, hadisnya munkar ghairu mahfudz. Yahya bin Mu’in berkata bahwa dia termasuk orang yang kadzab.[23] Al-Albani dalam kitabnya al-Silsilah al-Dhu’afa’wa al-Maudhu’iyah berkata bahwa hadis riwayat al-‘Aqili tersebut termasuk hadis maudhu’.[24] Bukhari berkata bahwa beliau munkar majhul.[25]

  1. 5.      Al Hasan bin Jabalah

Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Jabalah al-Syirazi. Guru-gurunya antara lain Umar bin Habib al-‘Adwi, Majasyi’ bin Amru, Ubaid bin Amru al-Bashri, Mahran bin Ishaq, dll. Murid-murisnya antara lain Muhammad bin Hanifah al-Washiti, Muhammad bin al-Murziyat al-Syirazi.[26]

Thabrani dalam kitab al-Awsath mengatakan bahwa beliau tidak dikenal[27] dan tidak ditemukan riwayatnya[28]. Al-Haitsami, tidak ditemukan dalam keterangannya.[29]

  1. 6.      Muhammad bin Hanifah al-Qasibi al-Wasithi (w. 197 H)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Hanifah bin Muhammad bin Mahan Abu Hanifah al-Qasibi. Beliau tinggal di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 197 H.[30] Nama kuniyah adalah Abu Hanifah.[31]

Guru-gurunya antara lain adalah Ahmad bin Muhammad bin Mahan (pamannya), Muqaddam bin Muhammad bin Yahya al-Muqaddimi, Khalid bin Yusuf al-Samiti, Hasan bin Jabalah al-Syirazi.[32] Murid-muridnya antara lain adalah Abu Bakar al-Syafi’i, Muhammad bin Hasan bin Maqasim, Ismail bin Ali al-Khathabi[33], Ali bin Abdullah al-Baghdadi, dll.[34]

Ad-Daruquthni menyebutkan bahwa beliau tidak kuat.[35] Thabarani dalam kitab al-Awsath  mengatakan bahwa beliau dha’if tidak kuat.[36]

  1. 7.      Al-‘Aqili (w. 322 H)

Nama lengkapnya adalah al-Hafiz Abi Ja’far Muhammad bin ‘Amru bin Musa bin Hamad al-‘Aqili al-Maki.[37] Nama kuniyahnya adalah Abu Ja’far. Beliau adalah pengarang kitab Dhu’afa al-Kabir. Beliau tinggal di Haramain.[38] Beliau merupakan muhaddits hafizh.[39] Beliau wafat di Mekkah pada tahun 322 H/ 934 M.[40]

Guru-gurunya antara lain adalah Ismail al-Tirmidzi. Murid-muridnya adalah Abu al-Hasan Muhammad bin Nafi’ al-Khaza’i, Abu Bakar bin al-Muqri,[41]

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis tersebut adalah sanad yang dhaif. Hal ini dibuktikan dengan sanad hadis ini yang tidak bersambung. Antara Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dengan Majasyi’ bin ‘Amru terputus tidak ada hubungan guru dan murid. Sementara antara al-‘Aqili dengan Muhammad bin Hanifah al-Qasibi al-Wasithi terdapat rentang waktu yang cukup lama sehingga tidak mungkin ada hubungan guru dan murid secara langsung. Rawi-rawi mulai Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sampai pada Muhammad bin Hanifah al-Qasibi al-Wasithi juga dinilai oleh para kritikus sebagai rawi yang dhaif. Selain itu, hadis ini pun tercantum dalam kitab Dhu’afa al-Kabir karya al-‘Aqili yang khusus memuat hadis-hadis yang dha’if. Dalam kitab Lisanul Mizan disebutkan bahwa hadis ini adalah hadis marfu’.[42]


[1] Syihabuddin Abul Fadl Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), jil. 1, h. 329

[2] Yusuf bin az-Zakki ‘Abdurrahman Abul Hajjaj al-Mizzi, Tahdzibul Kamal, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1400 H), jld. 3, 353

[3] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim Abu Abdillah al-Bukhori, Tarikhul Kabir, ( Darul Fikr ), jil. 2, h. 28

[4] Opcit

[5]Ibid

[6] Ibid

[7] Usamah diambil dari nama anaknya yaitu Usamah bin Zaid bin Aslam

[8] Abu Abdullah bin Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari, Tarikh Al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiayyah, 1986 M/1407 H), jil. 3, h. 387

[9] Syihabuddin Abul Fadl Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), jil. 3, h. 341

[10] Ibid

[11] Yusuf bin az-Zakki ‘Abdurrahman Abul Hajjaj al-Mizzi, Tahdzibul Kamal (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1400 H)

[12] Syihabuddin Abul Fadl Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), jil. 3, h. 341

[13] Yusuf bin az-Zakki ‘Abdurrahman Abul Hajjaj al-Mizzi, Tahdzibul Kamal (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1400 H), jil. 29, h. 374

[14] Ibid, h. 114

[15] Software Jawami’ul Kalim

[16] Abdurrahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris abi Muhammad ar-Razi at-Tamimi, Jarh Wat Ta’dil (Beirut: Daru Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1271 H), jld. 5, h. 233

[17]Opcit

[18] Opcit

[19] Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin al-Jauzi Abu al-Farj, Adh-Dhu’afa wa al-Matrukin Libni al-Jauzi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1406 H), jil. 3, h. 35

[20] Software Jawami’ul Kalim

[21] Abdurrahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris Abu Muhammad al-Razi al-Tamimi, al-Jarh wa al-Ta’dil (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1952), jil. 8, h. 390

[22] Software Jawami’ul Kalim

[23] Al-‘Aqili, Ad-Dhu’afa al-Kabir, jil. 8, h. 478

[24] Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Al-Silsilah adh-Dha’ifiyah jil. 2, h. 216

[25] Abdurrauf al-Manawi, Faidh al-Qadir (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1356 H), jil. 4, hal. 38

[26]Software Jawami’ul Kalim

[27] al-Haitami, Majmu’ al-Zawaid wa Munaba’ al-Fawaid, jil. 4, h. 276

[28] Ibid, h. 191

[29] Software Jawami’ul Kalim

[30] Muhammad bin Ali Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, jil. 5, h. 321

[31]Opcit

[32] Opcit

[33] Muhammad bin Ali Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, jil. 5, h. 321

[34] Software Jawami’ul Kalim

[35] Opcit

[36] Maktabah Shamela, al-Haitami, Majmu’ al-Zawaid wa Munaba’ al-Fawaid, jil. 2, h. 302

[37] Al-‘Aqili, Dhu’afa al-‘Aqili (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1998), jil. 1, h. 1

[38] Al-Imam Abu Abdullah Syamsuddin al-Dzahabi, Tadzkirah al-Hufazh(Beirut: Dar al-Kitab Ikhya al-Turats al-‘Arabi), jil. 3, h. 833

[39] Amar Ridha, Mu’ajam al-Muallifin (Beirut: Dar al-Kitab Ikhya al-Turats al-‘Arabi), jil. 11, h. 98

[40] Khoiruddin al-Zarkali, al-I’lam al-Zarkali, jil. 6, h. 319

[41] Opcit

[42] Al-Imam al-Hafizh Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, jil. 2, h. 320

kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi


Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Corak Fiqih[1]

  1. Kelebihan
  2. Memberikan tekanan terbesar pada aspek penetapan hukum dalam wahyu dan menjelaskan bahwa wahyu bukanlah semata-mata akidah tetapi juga syariah.
  3. Mentransendensi perbedaan madzhabi dogmatis menuju semacam tasyri (penetapan hukum) bagi umat Islam dan upaya paling tidak kesepakatan praktis untuk mempermudah kehidupan manusia.
    1. Kebinekaan tafsir fiqih sesuai madzhab kalam.
    2. Kelemahan
    3. Mereduksi wahyu pada salah satu aspeknya yaitu syariah, padahal wahyu adalah akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktik.
    4. Dominasi perbedaan madzhabi dan ideologi pada tafsir yang memungkinkan terjadinya silang pendapat yang sampai pada sikap fanatik dan apologetik.
    5. Tidak menjelaskan hikmah syariah dan tujuan wahyu. Terkadang terjebak ke dalam formalitas fiqih seolah-olah hukum tidak memiliki tujuan.
    6. Menghubungkan syariah dengan kondisi historis klasik yang berada di balik pendeduksiannya.
    7. Tidak mengembangkan syariah sesuai dengan kondisi setiap zaman dan selalu berada bahkan mempertahankan diri dalam kondisi lama sampai berubah dari fiqih historis khusus menjadi fiqih universal komprehensif bagi segala zaman kemudian membatu.
    8. Perbedaan hukum teoritis fiqih dari realitas ilmiah yang mementingkan pembaharuan dalam aspek pertama seperti hukum kekeluargaan, hukum riba dan hukum kerja.


[1] Hassan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat(Yogyakarta: Nawesea, 2007), hlm. 26-29

Kitab Sunan An-Nasa’i


SUNAN AN-NASA’I

Oleh

Alfi Nur’aini

 Gambar

Biografi

Nama asli beliau adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi. Nama kuniyah beliau adalah  Abu Abdirrahman. Nasab beliau adalah An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negeri asal beliau, tempat beliau di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan. Beliau lahir pada tahun 215 H.

Sifat-sifat beliau yaitu An Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala, kulitnya kemerah-merahan dan suka mengenakan pakaian dengan motif bergaris buatan Yaman. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.

Dia sering ikut bertempur bersama gubernur Mesir. Nasa’i terkenal keberaniannya dan keteguhan hatinya menegakkan cara berjihad menurut Sunnah Rasul. Sehingga dia dikenal selalu menjaga jarak dengan majlis penguasa, meskipun sering ikut berperang bersamanya. Begitulah seharusnya, disamping mengajarkan ilmu pengetahuan, apabila ada jihad hendaklah ulama segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, nasa’i mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari berpuasa sehari tidak.[1]

Rihlah beliau[2]

Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, beliau berkeliling ke negeri-negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga beliau dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh.

Diantara negeri yang beliau kunjungi adalah Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah, Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan sekitarnya, Syam, Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negeri islam dengan kekuasaan Ramawi, Hijaz, dan Mesir.

Wafatnya beliau[3]

Setahun menjelang wafatnya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

Guru-guru beliau

Diantara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Hisyam bin ‘Ammar, Suwaid bin Nashr, Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi, Abu Thahir bin as Sarh, Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri, Ishaq bin Rahawaih, Al Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud,dan Imam Abu Isa at Tirmidzi.

Murid-murid beliau

Murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah Abu al Qasim al Thabarani, Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi, Hamzah bin Muhammad Al Kinani, Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i, Al Hasan bin Rasyiq, Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi, Abu Ja’far al Thahawi, Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi, Abu Basyar ad Dulabi, dan Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni.

Penilaian para ulama terhadap beliau[4]

Dari kalangan ulama seperiode beliau dan murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada beliau, diantara mereka yang memberikan pujian kepada beliau adalah;

1. Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; ‘beliau adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.’

2. Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; ‘aku ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.’

3. Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; ‘beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin.’

4. Abu Sa’id bin yunus menuturkan; ‘ beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.’

5. Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.’

6. Ad Daruquthni menuturkan; ‘Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.’

7. Al Khalili menuturkan; ‘beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.’

8. Ibnu Nuqthah menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.’

9. Al Mizzi menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.’

Karya-karya Imam an-Nasa’i[5]

Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, diantaranya adalah; As Sunan Ash Shughra, As Sunan Al Kubra, Al Kuna, Khasha`isu ‘Ali, ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah, At Tafsir, Adl Dlu’afa wa al Matrukin, Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar, Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid, Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah, Musnad ‘Ali bin Abi Thalib, Musnad Hadits Malik, Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum, Al Ikhwah, Al Ighrab, Musnad Manshur bin Zadzan, dan Al Jarhu wa ta’dil.

Kitab Sunan al-Nasa’i[6]

Dalam kitab Sunan al-Nasa’i, hadis yang disebutkan oleh al-Nasa’i tidak satupun hadis yang berasal dari orang yang ditolak periwayatannya oleh para ulama hadis dan tidak mempercayai periwayataanya. Hadis yang disebutkan juga merupakan ringkasan dan seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra, sehingga tidak terdapat hadis yang dhaif dan kalaupun ada itu jumlah sangat kecil dan jarang sekali.

Kitab Sunan al-Nasa’i sederajat dengan Sunan Abu Dawud atau sekurang-kurangnya mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan Sunan Abu Dawud, dikarenakan al-Nasa’i sangat teliti dalam meriwayatkan dan menilai suatu hadis. Hanya saja karena Abu Dawud lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadis yang ada tambahannya, dan lebih terfokus pada hadis-hadis yang banyakdiperlukan oleh para fuqaha, maka Sunan Abu Dawud lebih diutamakan sedikit dari Sunan al-Nasa’i. Oleh karena itu, Sunan al-Nasa’i ditempatkan pada tingkatan kedua setelah Sunan Abu Dawud dalam deretan kitab-kitab hadis al-Sunan.

Metode Penyusunan dan Sistematika Kitab Sunan al-Nasa’i

Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab hadis al-Nasa’i ini disusun berdasarkan metode sunan. Metode sunan adalah metode penyusunan kitab berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah) dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi saja (hadis marfu’). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi’in (maqtu) maka relatif jumlahnya hanya sedikit. Metode yang digunakan menjadi sangat unik karena memadukan antara fiqih dengan kajian sanad. Hadis-hadisnya disusun berdasarkan bab fiqih dan untuk setiap babnya diberi judul yang kadang-kadang mencapai tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad hadis pada satu tempat.

Sistematika penyusunannya dengan lengkap sebagai berikut:

No. Nama Kitab Juz Hlm
Al-Muqaddimah I 3
1 Al-Taharah I 12
2 Al-Miyah I 141
3 Al-Haid I 147
4 al-Ghusl wa al-Tayamum I 162
5 Al-Shalah I 178
6 Al-Mawaqit I 198
7 Al-Azan II 3
8 Al-Masajid II 26
9 Al-Qiblah II 47
10 Al-Imamah II 58
11 Al-Jum’ah III 71
12 Taqsir al-Shalah fi al-Safar III 95
13 Al-Kusuf III 101
14 Al-Istisqa’ III 125
15 Shalat al-Khusuf III 136
16 Salat al-‘Idain III 146
17 Qiyam al-Lail wa Tatawwu’ al-Nahr III 161
18 Al-Janaiz IV 3
19 Al-Siyam IV 97
20 Al-Zakah V 3
21 Manasik al-Hajj V 83
No. Nama Kitab Juz Hlm
22 Al-Jihad VI 3
23 Al-Nikah VI 44
24 Al-talaq VI 112
25 Al-Khail VI 178
26 Al-Ahbas VI 190
27 Al-Wasaya VI 198
28 Al-Nahl VI 216
29 Al-Hibah VI 220
30 Al-Ruqba VI 226
31 Al-Umra VI 228
32 Al-Aiman wa al-Nuzur wa al-Muzara’ah VII 3
33 ‘Asyrah al-Nisa VII 58
34 Tahrim al-Dam VII 70
35 Qism al-Fai VII 117
36 Al-Bai’ah VII 124
37 Al-Aqiqah VII 145
38 Al-Far wa al ‘Atirah VII 147
39 Al-Said wa al-Zaba Ibn Hajar al-‘Asqalani VII 158
40 Al-Dahaya VII 186
41 Al-Buyu’ VII 212
42 Al-Qasamah VIII 3
43 Qat’u al-Sariq VIII 57
44 Al-‘Aiman wa al-Syara’ VIII 86

Dari sistematika yang dipaparkan di atas, ada beberapa catatan dan komentar yang dapat diberikan mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan al-Nasa’i di atas yaitu:

  1. Dari kitab (bab) pertama sampai dengan ke 21, membahas tentang masalah thaharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai shalat.
  2. Kitab (bab) puasa didahulukan daripada zakat.
  3. Kitab (bab) qism al-fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad.
  4. Kitab al-khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad.
  5. Melakukan pemisahan-pemisahan di antara kitab-kitab (bab-bab) al-ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, alnahl (pemberian kepada anak), al-hibah (pemberian), al-ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan mengenai fara’id tidak ada.
  6. Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman), al-said (perburuan), al-zaba’ih (sembelihan hewan qurban), al-dahaya (kurban Idul Adha).
  7. Kitab Iman diletakkan di bagian akhir.
  8. Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab Iman dan kitab al-‘isti’azah.[7]

Syarah Sunan An-Nasa’i

Kitab Sunan an-Nasa’i tidak luput dari perhatian dan komentar dari para ulama hadis. Hal ini terbukti dengan banyaknya syarah dan penjelasan yang diberikan ulama hadis yang datang sesudah beliau. Hal ini membuktikan bahwa kitab Sunan An-Nasa’i ini mendapat respon positif dan begitu baik di kalangan ulama hadis, dan tidak pernah ada kitab hadis diberi syarah begitu banyakoleh ulama hadis seperti yang terjadi pada kitab Sunan An-Nasa’i. Di antara ulama yang memberikan syarah pada Sunan tersebut adalah:

  1. Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuti

Penjelasan syarah ini sangat singkat, bahkan seperti catatan biasa. Syarah tersebut bernama Zuhar ar-Rubba’ ‘Ala al-Mujtaba’. Terbit di Janpur pada tahun 1847, di New Delhi pada tahun 1850 dan di Kairo diterbitkan dalam bentuk dua jilid pada tahun 1312 H. Kitab syarah ini memberikan penekanan pada aspek nama-nama rawi, penjelasan lafaz, kata-kata yang agak asing dan aneh, serta menyebutkan sebagian hukum-hukum dan etika yang tercakup oleh berbagai hadis nabi. Dikatakan bahwa syarah yang diberikan oleh As-Suyuti ini lebih dekat kepada apa yang dimaksud oleh al-Suyuti. Meskipun uraian kitab syarah ini sangat singkat namun sangat berguna.

  1. Syaikh al-Allama Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi As-Sindi (w. 1138 H)

Ulama ini lahir di Madinah dan meninggal pada tahun 1138, terkenal dengan nama panggilan As-Sindi. Kitab syarahnya diberi judul “Hasyiyah Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’. Syarah ini lebih sempurna daripada syarah Suyuti, karena di dalamnya terdapat pendapat hukum dari al-Sindi. Isinya hanya uraian singkat mengenai hal-hal yang sangat diperlukan oleh para pembaca seperti bahasa, i’rab, hadis garib dan lainnya.[8] Kitab syarah ini juga diterbitkan di India dan Cairo.

  1. Syaikh al-Allamah Sirajudin Umar bin Ali bin al-Mulqin as-Syafi’i (w. 804 H)

Syarah yang ditulis oleh ulama ini hanya merupakan tambahan atas shahih Bukhari dan Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Syarah ini hanya satu jilid dan terletak bersama dengan syarah terhadap kitab al-Sahihain, Abu Dawud dan Turmudzi.

  1. Sayyid Ali bin Sulaiman al-Bajma’wi

Syarahnya bernama ‘Urf Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’.

 


[1] Abu Syuhbah, Kutubus Sittah (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), hlm. 92-93

[2] Software Lidwa Hadits 9 Imam

[3] Software Lidwa Hadits 9 Imam

[4] Software Lidwa Hadits 9 Imam

[5] Software Lidwa Hadits 9 Imam

[6] Afdawaiza, dkk, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm.141-142

[7]Afdawaiza, dkk, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm.144-145

[8] Abu Syuhbah, Kutubus Sittah (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), hlm. 96

Rasyid Ridha>> Pemikiran Hadis Kontemporer


Pemikiran Hadis Rasyid Ridha
oleh Alfi Nur’aini
 
A.    Biografi Rasyid Ridha
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad bin Syamsyuddin al-Qalamuni. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalamun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon pada hari Rabu tanggal 27 Jumadil’Ula 1282 H/18 Oktober 1865 M. Dia mempunyai garis keturunan langsung dari Husain bin Ali dan Fatimah binti Rasulullah saw.
Keluarganya dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama dan menguasai ilmu agama sehingga dikenal dengan sebutan “syaikh”. Ketika Rasyid Ridha remaja telah banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya yang mewarisi ilmu dari kakeknya.
Pendidikannya dimulai dengan belajar di taman pembelajaran al-Kuttab pada usia 7 tahun. Kemudian lanjut di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyyah di Tripoli (Lebanon), beliau belajar nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, berhitung dan ilmu bumi. Pada tahun 1299 H/1822M, pindah ke Madrasah Wathaniyyah al-Islamiyyah yang dipimpin oleh ulama besar Syam yaitu Syaikh Husain al-Jisr, yang kemudian pada tahun 1314 H/ 1897 M mendapat ijazah di bidang ilmu –ilmu agama, bahasa dan filsafat.
Guru-gurunya selain Syaikh al-Jisr yakni Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad al-Qawijiy, keduanya ulamaa di bidang ilmu hadis, Syaikh Abdul Ghanial-Rafi, al-Ustadz Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.
Rasyid Ridha gemar membaca dan mempelahari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali. Perbuatan inilah yang mempengaruhi jiwa, sikap dan tingkah lakunya. Beliau sangat hati-hati dalam bersikap menjadi pemuda yang nyufi dan tarikat Naqsabandiyah sebagai penguat spiritualnya.
Rasyid Ridha hidup pada kurun waktu antara sepertiga abad ke 19 dan sepertiga abad ke 20. Kurun waktu tersebut adalah kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Sebab saat itu kaum imperialis Barat telah bersekutu dengan kaum zionis internasional untuk memecah belah umat Islam, membagi-bagi negeri-negeri mereka dan merampas harta mereka.
Menurut Ridha sendiri, pada masanya kondisi umat Islam sudah begitu buruknya. Di samping pemerintahan-pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa mereka sudah hancur, mereka sendiri selaku umat Islam tidak dapat lagi mengetahui hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan tidak dapat lagi mengetahui ajaran-ajaran agama Islam yang dapat membawa mereka pada kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia.
B.     Pertemuan Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh
Pada saat Ridha memulai perjuangan dakwahnya di kampung halamannya, baik melalui pengajian maupun tulisan, Muhammad Abduh sedang memimpin gerakan pembaharuan bersama dengan Jamaluddin al-Afghani di Mesir. Gagasan gerakan pembaharuan tersebut diterbitkan dalam majalah al-Urwat al-Wutsqa, yang kemudian sampai di tangan Ridha dan tertarik untuk membaca dan mengikuti alur pemikiran gagasan tersebut.
Pertemuan pertama terjadi pada tahun 1885 H ketika Abduh sedang mengajar di al-Khanutiyah. Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M. Pada tahun 1315 H/1898 M Ridha mempunyai gagasan untuk menerbitkan surat kabar yang mengelola masalah sosial, budaya dan agama. Dengan tekad yang kuat Ridha dapat menerbitkan surat kabar bernama Al-Manar pada 22 Syawal 1315 H.
Hubungan monologis maupun dialogis yang terjalin antara Abduh dan Ridha memepengaruhi pola pikir Ridha.

A.    Karya-Karya Ilmiah Muhammad Rasyid Ridha

1.      Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhkamat al-Dadiriyah wa Al-Rifa’iyah (karya pertamanya)

2.      Al-Azhar dan al-Manar

3.      Tarikh al-Ustadz al-Imam (Riwayat hidup Muhammad Abduh dan perkembangan Mesir)

4.      Nida’ li al-Jins al-Lathif

5.      Zikra al-Maulid an-Nabawi

6.      Risalatu Hujjah al-Islam al-Ghazali

7.      Al-Sunnah wa al-Syi’ah

8.      Al-Wahdah al-Islamiyah

9.      Haqiqah al-Riba

10.  Majalah al-Manar

11.  Tafsir al-Manar

12.  Tafsir surat al-Kautsar, al-Kafirun, al-Ikhlas, dan al-Mu’awidzatain.

D.    Sketsa Pemikiran Rasyid Ridha

Rasyid Ridha mempunyai konsep Tathbiq al-Syari’ah atau Tathbiq Qanun al-Syari’ah. Konsep tersebut disiapkan untuk menyembuhkan penyakit imperialisme-kolonialisme yang membelenggu umat Islam, yakni dengan cara mengaplikasikan kembali materi undang-undang dan tatacara kenegaraan yang pernah dilakukan oleh generasi Muslim terdahulu.
Sebagai tokoh berkarakter reformis, Rasyid Ridha berpendapat bahwa pembaharuan mutlak harus dilakukan, karena tanpa itu umau Islam senantiasa berada dalam ke-jumud-an dan akan menjadi umat yang terlantar. Menurut Ridha, Islam telah dimasuki oleh faham-faham di luar Islam yang menyebabkan terjadinya dekadensi dalam dunia Islam seperti tahayyul, kurafat,fatalisme, bid’ah, dan lain-lain yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam.
E.     Pandangan dan Sikap Ridha tentang Hadis
Ridha mengatakan bahwa Nabi SAW. adalah penjelas al-Qur’an, baik melalui ucapan maupun perbuatannya. Penjelasan tersebut dapat berupa pengkhususan, pembatasan maupun perincian. Menurut Ridha Nabi SAW. tidak dapat menggugurkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an atau merusak cerita di dalamnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa sunnah tidak dapat menghapus al-Qur’an. Sumber pokok ajaran dalam Islam adalah al-Qur’an dan sunnah amaliyah yang disepakati dan ditetapkan Nabi Saw. menempati posisi yang kedua, kemudian hadis-hadis ahad yang mempunyai riwayat yang banyak dan petunjuk-petunjuk menjadi sumber ajaran ketiga.
F.     Otentisitas Hadis dalam Pandangan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha sangat berhati-hati dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW. Meskipun suatu hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari atau Sahih Muslim, ia lebih mengedepankan fakta historis, kajian ilmiah dan logika sentris.
Rasyid Ridha berpandangan bahwa dosa-dosa kecil perawi yang dapat dipercaya, tidak menghalagi diterimanya semua hadis mereka. Semata-mata menegaskan bahwa perawi yang dipercaya bukanlah suatu kriteria untuk menerima semua hadis mereka tanpa meneliti hadis tersebut dengan seksama. Rasyid Ridha sangat kritis terhadap semua periwayatan hadis, meskipun itu hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang terkesan sakral. Syarat dan prasyarat yang dikonsepsikan ulama terdahulu tidak membuatnya ittiba’ terhadap hipotesa yang telah ada.
Yang patut digarisbawahi terhadap cara Ridha dalam mengkritisi bahkan menolak suatu hadis adalah bahwa akal bukanlah satu-satunya instrumen yang digunakan Ridha, akan tetapi juga fakta historis serta disiplin ilmu-ilmu hadis diperlukan untuk menguatkan argumen-argumennya. Cara ini yang tidak dilakukan Abduh sehingga menunjukkan Ridha sedikit memiliki kelebihan dan keluasan disiplin ilmu hadis.
Menurut Fahd al-Rumi, Ridha adalah tokoh pembaharuan yang paling tegas menolak Israiliyat dan paling sengit dalam mengecam para tokohnya seperti Ka’b al-Ahbar dan Wahab ibn Manabbih, padahal mereka dipandang tsiqah oleh pakar tafsir dan pakar hadis.[1]
G.    Tadwin al-Hadis dalam Pandangan Rasyid Ridha
Ridha menganut pandangan bahwa penulisan hadis pada mulanya memang dibenarkan, tetapi kemudian datang hadis yang melarang adanya penulisan. Menurut teori Rasyid Ridha sebabnya ialah Nabi SAW. tidak memaksudkan hadis sebagai sumber hukum yang abadi ataupun sebagian dari agama.
H.    Kritik terhadap Pemikiran Rasyid Ridha
Tema sentral yang digagas oleh Ridha adalah teori naskh dalam memahami hadis kontradiktif tentang kodifikasi hadis.
Al-Siba’i dan Azami berpendapat bahwaitu banyak membuka pintu bagi orang lain sesudahnya untuk bersikap inkar pada hadis termasuk menimbulkan heboh di kalangan ilmu hadis.
Bagi Nur Kholis Majid, Rasyid Ridha hanyalah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan hadis. Seluk beluk teori ini tidak menjadikan inkar melainkan nanti melahirkan wacana baru ilmu kritik tentang hadis.
Jalaluddin Rahmat senada dengan Cak Nur, beliau memiliki pandangan bahwa sikap Ridha yang demikian pada gilirannya Ridha mengecap penutupan pintu ijtihad manapun mengikuti gurunya Abduh.
I.       Kesimpulan
Pemikiran Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh gurunya, Muhammad Abduh sehingga tema dan gagasan yang diperdebatkan pun tidak jauh berbeda. Dengan kemapanan intelektual dan jiwa kritis yang tertancap pada dirinya, Rasyid Ridha berani menentang praktek-praktek yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Dibandingkan dengan Abduh, Ridha memiliki pengetahuan hadis yang lebih. Sehingga dalam mengkritisi hadis, akal bukanlah satu-satunya standarisasi akan tetapi harus sesuai dengan fakta historis dan disiplin ilmu hadis.
 
 

[1] A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) hlm. 57

Riyadus Shalihin


Meminta-minta

Dari Abu Abdir Rahman, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan yaitu Shakhr bin Harb radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah engkau semua mempersangatkan dalam meminta sesuatu sebab demi Allah, tidaklah seseorang dari engkau semua itu meminta sesuatu, kemudian karena permintaannya itu lalu dapat mengeluarkan sesuatu pemberian daripadaku untuknya, sedangkan saya tidak senang dengan cara memintanya,selanjutnya lalu diberkahi untuk orang tadi dalam apa-apa yang saya berikan.” (Riwayat Muslim)

Maksudnya bahwa rezeki yang berasal dari meminta, apabila rezeki itu menjadi bertambah banyak dan kekal karena dibuat berusaha umpamanya, maka yang diminta dengan baik yakni tidak seolah-olah memaksa adalah lebih baik dan lebih banyak berkahnya dari yang diminta dengan nada yang seolah-olah memaksa.